Minggu, 23 September 2012

Kisah Sekantung Kentang Busuk




Kisah ini terjadi di salah satu TK (taman kanak-kanak). Pada suatu hari, guru TK tersebut mengadakan permainan dengan menyuruh setiap muridnya untuk membawa sebuah kantong plastik transparan dan kentang.

Masing-masing kentang tersebut diberi nama berdasarkan nama orang yang dibenci. Jadi, setiap anak membawa jumlah kentang yang berbeda sesuai jumlah orang yang mereka benci. Pada hari yang disepakati, semua murid membawa kantong plastik berisi kentang ke sekolah. Ada yang berjumlah dua, ada yang tiga, bahkan ada yang lima buah.

Seperti perintah guru mereka, tiap-tiap kentang diberi nama orang yang mereka benci. Murid-murid harus membawa kantong plastik berisi kentang itu kemana saja mereka pergi, bahkan ke toilet sekalipun. Hal itu berlangsung selama satu minggu.

Hari berganti hari, kentang-kentang pun mulai membusuk, murid-murid mulai mengeluh, apalagi yang membawa lima buah kentang. Selain berat, baunya juga tidak sedap. Setelah satu minggu, murid-murid TK tersebut merasa lega karena penderitaan mereka akan segera berakhir.

“Bagaimana rasanya membawa kentang selama satu minggu?” tanya sang guru.

Segera keluarlah keluhan dari murid-murid TK tersebut. Pada umumnya mereka merasa tidak nyaman harus membawa kentang-kentang busuk tersebut kemanapun mereka pergi. Guru pun menjelaskan apa arti dari “permainan” yang mereka lakukan.
Kemudian guru bertanya lagi,

“Apakah kalian tahu akibatnya jika tidak mau memaafkan orang lain? Akan menjadi tekanan dan beban berat di atas pundak kalian,  semakin banyak orang yang tidak ingin kalian maafkan, beban ini menjadi semakin berat, bagaimana mungkin kalian menghadapinya?”
“Seperti itulah kebencian yang selalu kita bawa-bawa bila kita tidak bisa memaafkan orang lain.”

Guru berhenti berkata beberapa saat, sengaja membiarkan kami merenung. Lalu beliau berkata lagi,

“Lepaskan saja! Sebenarnya waktu bisa membuat orang menjadi sadar. Perasaan tidak bisa memaafkan orang lain hanya membuat diri kita sendiri makin susah dan tidak bisa gembira.”

*Sc: AW

2 komentar: