Alkisah, pada suatu ketika seorang raja ingin menguji
kesadaran warga kotanya. Raja memerintahkan agar setiap orang, pada suatu malam
yang telah ditetapkan membawa sesendok madu untuk dituangkan dalam sebuah
bejana yang telah disediakan di puncak bukit di tengah kota.
Seluruh warga kota memahami benar perintah tersebut dan menyatakan kesediaan
mereka untuk melaksanakannya. Tetapi, dalam pikiran seorang warga kota
terlintas cara untuk mengelak perintah tersebut.
“Aku akan membawa sesendok penuh, tapi bukan madu. Aku akan membawa air.
Kegelapan malam akan melindungiku dari pandangan mata orang lain. Sesendok air
tidak akan mempengaruhi isi bejana yang kelak akan diisi madu oleh seluruh
warga kota.”
Tibalah waktu yang ditetapkan. Apa kemudian yang terjadi? Bejana itu ternyata
seluruhnya berisi penuh dengan air! Rupanya seluruh warga kota berpikiran sama
dengan si Fulan. Mereka mengharapkan warga kota yang lain membawa madu sambil
membebaskan diri dari tanggung jawab.
Kisah simbolik ini sering terjadi dalam berbagai kehidupan masyarakat. Idealnya
memang bahwa seseorang harus memulai dari dirinya sendiri disertai dengan
pembuktian yang nyata, baru kemudian melibatkan orang lain.
Katakanlah (hai Muhammad), inilah jalanku. Aku mengajak ke jalan Allah
disertai dengan pembuktian yang nyata. Aku bersama orang-orang yang mengikutiku
(QS Yusuf; 12:108)
Berperang atau berjuang di jalan Allah tidaklah dibebankan kecuali pada
dirimu sendiri, dan bangkitkanlah semangat orang-orang Mukmin (QS Al-Nisa’;
4:84)
Perhatikanlah kata-kata: “tidaklah dibebankan kecuali pada dirimu sendiri”.
Nabi Muhammad SAW pernah bersabda: “Mulailah dari dirimu sendiri, kemudian
susulkanlah keluargamu” Setiap orang menurut Beliau adalah pemimpin (paling
tidak untuk dirinya sendiri) dan bertanggung jawab atas yang dipimpinnya.
Berarti setiap orang harus tampil terlebih dulu. Sikap mental yang seperti
inilah yang akan menyebabkan bejana sang raja penuh dengan madu, bukan
air, apalagi racun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar